Krisis Akibat Pandemi, Pemerintah Diminta Menaikkan Cukai Rokok dan Jalankan Simplifikasi

 

Sariagri - Komnas Pengendalian Tembakau mengadakan webinar bertajuk Menakar Kembali Pentingnya Cukai Rokok Bagi Ekonomi-Kesehatan Indonesia. Dalam diskusi yang berlangsung peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Risky Kusuma Hartono mengatakan kenaikan cukai rokok ini juga harus didukung dengan penyederhanaan golongan tarif cukai yang selama ini menjadi penghalang kesuksesan cukai sebagai alat pengendalian konsumsi.

Dengan harga yang mahal, konsumsi rokok di masyarakat dapat lebih terkendali sehingga membantu menekan kasus Covid-19 sekaligus membantu Pemerintah menekan beban ekonomi dari dampak pandemi.

“Hasil penelitian kami memperlihatkan bahwa selain pengaruh teman sebaya (peer effect), faktor harga (price effect) juga merupakan salah satu pendorong anak usia sekolah SMP-SMA mengonsumsi rokok. Ditambah lagi masih diperbolehkannya penjualan rokok secara batangan,” ujar Risky, dalam acara webinar, Kamis (12/8)

Dia memperkirakan, murahnya harga rokok di Indonesia menjadi salah satu faktor terus naiknya prevalensi perokok anak yang saat ini terjadi, sesuai data Riskesdas, dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Angka ini telah melewati target capaian RPJMN 2014-2019 untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4 persen pada tahun 2019. 

Survei dari Komnas Pengendalian Tembakau pada tahun 2020 menunjukkan bahwa meski pandemi berpengaruh pada penghasilan responden secara ekonomi, nyatanya 49,8 persen responden masih menghabiskan uang belanja untuk rokok yang sama besarnya seperti sebelum pandemi, dan 13,1 persen responden justru naik jumlah konsumsi dan uang belanjanya untuk rokok saat pandemi.

Kecenderungan meningkatnya konsumsi rokok di masa pandemi menjadi kontraproduktif terhadap beban ekonomi pada masyarakat yang banyak terdampak akibat pandemi. Hal ini memperburuk situasi ekonomi yang telah dirugikan akibat konsumsi rokok, bahkan sebelum pandemi. 

“Sebelum pandemi, konsumsi rokok menyebabkan kerugian ekonomi pada sistem layanan kesehatan sebesar Rp 27,7 triliun dan sebagian besar kerugian harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Apalagi di tengah krisis kesehatan seperti ini?” sebut Chief Strategist of Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Yurdhina Meilissa di kesempatan yang sama.

Untuk itu, Estro D. Sihaloho, Peneliti Center for Economic and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran menyebut, jika saja masyarakat dapat menekan konsumsi rokoknya, beban ekonomi dirinya bahkan negara bisa berkurang dan bahkan terbantu. 

“Sebesar Rp11, 4 - Rp34,2 triliun keuntungan bisa didapatkan jika saja masyarakat mau mengurangi konsumsinya 3-9 batang per hari. Tentu ini akan sangat membantu Pemerintah di masa pandemi, yang artinya pemerintah harus membuat kebijakan yang kuat untuk mewujudkannya,” ungkapnya saat menyampaikan skema pengurangan konsumsi rokok terhadap potensi keuntungan ekonomi.

Untuk itu, ekonom sekaligus Direktur SDM Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan mengungkapkan pentingnya kenaikan cukai rokok untuk menyelamatkan ekonomi negara saat ini.

“Naikkan cukai rokok di atas 20 persen lalu berlakukan simplifikasi sampai dua golongan, saya yakin Pemerintah Indonesia akan merasakan keuntungannya, baik dari sisi berkurangnya beban ekonomi kesehatan akibat konsumsi rokok, juga dari sisi solusi krisis ekonomi di masa pandemi saat ini,” jelasnya. 

Seperti yang diketahui, kondisi krisis akibat pandemi juga berdampak pada sektor industri. Namun, tidak sama halnya yang terjadi dengan industri rokok. Merujuk Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), industri rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk milik Philip Morris asal Amerika Serikat (AS) mengantongi pendapatan Rp47,2 triliun di semester I-2021. 

Nilainya naik 6,5 persen ketimbang pendapatan periode yang sama tahun sebelumnya. Begitu juga dengan Perusahaan rokok PT Gudang Garam International Tbk, pendapatannya juga naik 12,9 persen menjadi Rp 60,6 triliun.

Kalau dibandingkan, pendapatan perusahaan rokok ini jauh dibandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari provinsi mana pun, termasuk Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki PAD Rp37,41 triliun. 

Melihat hal di atas, pemerintah diharapkan untuk memiliki sense of crisis terhadap situasi yang ada. “Kami sangat berharap seluruh Kementerian terkait bersepakat menentukan sikap dan keberpihakannya kepada rakyat, bahwa krisis pandemi Covid-19 akan sulit ditangani tanpa memiliki perspektif bahwa kita juga sedang mengalami krisis epidemi konsumsi produk tembakau saat ini,” Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama