Mengintip Petani Gula Aren Tradisioanal di Dataran Tinggi Penanggak


Sariagri - Sebuah desa persiapan bernama Desa Penanggak yang terletak dibagian dataran tinggi Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyimpan potensi gula aren yang cukup tinggi. Cara pembuatan dan penyajian gula aren pun masih sangat tradisional.

Nyaris semua penduduk di wilayah yang berpenghuni 606 Kepala Keluarga dengan 1.972 jiwa ini berprofesi sebagai petani aren dan menjadikan pohon enau sebagai mata pencaharian utama.

Hanis, salah seorang petani aren mengaku telah lama menjadi petani gula aren. Berkat gula aren kini ia sukses menyekolahkan anak-anaknya hingga bisa menghidupi kelurga.

"Kalau ini sudah jadi usaha turun temurun kami disini," ungkap Hanis aat didatangi Sariagri.

Hanis menggeluti pohon aren menggunakan proses manual dan sampai saat ini masih menggunakan cara tradisional, mulai dari perlengkapan memasak yang menggunakan tungku dengan sumber api dari kayu bakar dan cetakan yang masih memakai tempurung kelapa. Suasana asri pun terasa sangat khas diwilayah ini.

"Dari sejak saya bisa ngaret (ambil air nira) cara ini tetap digunakan oleh masyarakat," kata Hanis.

Satu pohon diakui Hanis mampu menghasilkan rata-rata 5 hingga 25 liter, tergantung besar tandannya. Sedangkan Untuk diolah menjadi gula, bagi petani yang memiliki sedikit pohon enau harus mengumpulkan dulu air aren hingga 5-7 hari. Setelah terkumpul banyak, barulah dimasak menggunakan wajan dengan dimasukkan ke batok kelapa hingga mengeras menjadi gula.

Menurut Hanis, gula merah yang dihasilkan pohon aren di wilayahnya memiliki cita rasa yang khas. Selain bentuk potongan yang normal dari gula kebanyakan, dan setiap hari air nira sebagai bahan bakunya disadap tanpa perlu khawatir kehabisan.

Kendati demikian, hasil dari gura aren itu terbilang masih tetap sama, pasalnya jumlah produksi gula aren dianggap warga masih stagnan atau dibawah rata-rata para penghasil gula aren di tempat lain.

Meski masih tetap mencintai cara tradisional untuk dilestarikan, kebutuhan ekonomi menjadi hal utama bagi Hanis, dengan kata lain ia juga menginginkan cara modern yang bisa cepat memproduksi gula aren dengan jumlah besar.

“Hasil penjualan kita masih sama, kalau di rata-ratakan sekali penjualan itu Rp100-200 ribu,"ujarnya.

Proses pembuatan gula aren ini, di daerah itu masih tradisional. Tidak ada menggunakan alat teknologi untuk mengolah gula menjadi gula semut atau jenis lainnya.

“Inilah kendala kami, masih tradisional. Sehingga penghasilan tidak seberapa,” akunya.

Di tempat yang berbeda, salah seorang petani aren lainnya, Dedi Zulhandi mengatakan petani aren di wilayah itu sangat butuh pembinaan. Karena sebagian besar warga di desa itu masih mengandalkan hasil bumi.

"Cuman karena berada di atas bukit, agak sulit ngelink ke dinas-dinas," tungkas pria yang akrab disapa Dedi ini.

Diakui Dedi, Akibat belum disentuh, petani hanya bisa membuat gula batok saja dan tidak bisa mengolah menjadi gula semut dan briket atau sejenisnya. Padahal, jika melihat peluang pasar olahan produk-produk tersebut akan menguntungkan petani karena harga jual lebih tinggi.

“Karena harga jual gula itu Rp 25-30 ribu 1 buah. Itupun selama 3-7 hari, tergantung jumlah pohon petani," imbuhnya.

Menurutnya tidak hanya dari sisi air aren yang bisa dimanfaatkan, namun berbagai bagian pohon enau itu sebenarnya bisa diolah. Baik itu, ijuknya jadi kerajinan, buah enau bisa jadi olahan minum hingga nata de Coco. Termasuk daunnya untuk pakan ternak serta sapu. Namun petani tidak bisa mengolah.

"Semua petani masih tradisional dalam mengolah gula aren ini. Karena itu sangat-sangat perlu ada intervensi dari Pemda,” jelas dia. 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama